antara AKU DAN WAYANG
Karya : Hamsan Nafis Kelas : XI.IPA2
SMAN
1 Cikarang Utara
Aku tak tahu
mengapa aku tercipta. Ketika terjun ke dunia yang penuh dengan manisnya
kenyataan semu dan terangnya kepahitan hidup, aku tak tahu siapa aku dan
mereka. Aku mencoba mengilhami setiap kejadian yang membuatku bermetamorfosa.
Menjadikan pribadi yang mengenal akan diriku senyatanya. Ketika aku masih
belia, gerakan yang ku lakukan seperti gerak semuku, karena aku hanya
menjalankan keinginan seseorang untuk melakukan jalan pikirannya. Akupun hanya
bergerak statis tanpa adanya respon untuk mengungkapkan pemikiran yang ada.
Karena aku masih terlalu muda untuk menentukan apa yang seharusnya aku lakukan.
Alamiah jika masa kanak-kanak masih belum tau apa yang seharusnya diketahui,
seperti apa yang menjadi dirinya yang sesungguhnya.
Masa kanak-kanak
ku lalui seperti selayaknya, walau hanya sedikit berbeda dengan teman sebayaku.
Aku seperti seekor ayam yang hanya bisa berkeliaran saat aku dilepaskan dari
kandang, namun gerak-gerikku tetap terawasi untuk tetap terjaga seperti apa
yang pemiliknya harapkan. Namun tak ubah menjadi seuntai masalah karena aku
belum memahami kenyataan yang ada. Terlalu belia untuk dimengerti anak
seumuranku.
Keterbiasaan itu
lama-kelamaan mulai membuat gerakku tak lagi nyaman. Tumbuh rasa terusik dalam
dada setelah memandangi perbedaan antara aku dan teman sebayaku. Terlintas
kecemburuan sosial dibenakku ketika melihat temanku bisa menentukan apa yang
dia inginkan dan memilih yang ada dibenaknya. Sedangkan aku, hanya untuk
menyelesaikan urusan pribadiku tidak bisa luput dari pengawasan orang tuaku,
tepatnya ibuku.
Ketidakmengertian
yang selalu muncul dipikiranku, mengapa aku tidak boleh menjadi diriku sendiri?
Mengapa aku hanya menjalankan otak ibuku dan aku menjadi seperti salah satu
tokoh wayang yang siap dia gerakkan untuk memuaskan pikirannya. Aku ini anakmu
atau wayang kesayanganmu, Ibu?
Aku selalu
berpikir, apa yang membedakanku dengan wayang yang terakhir kali ku lihat di
sebuah pertunjukan. Dia seolah-olah bergerak melakukan peran yang harus dia
jalani selama pertunjukan, namun dibalik semua itu ada dalang yang mengotaki
semua pergerakkan si wayang tersebut. Jika begitu, apa bedanya aku dengan
wayang?
Pertambahan usia
membuatku berpikir sehingga membuat diriku mulai meraba bagaimana sesungguhnya
dunia ini. Menelusuri dan mencari jati diriku yang sebenarnya, dibenakku, aku
hanya sebuah tokoh wayang yang menjalankan karya pemikiran dari dalangnya. Aku
ingin seperti yang temanku dapatkan, melakukan hobi yang menyenangkan, pergi
bersama dengan karibku, dan melakukan yang aku inginkan.
Keterdiamanku
tak mengubah bumi menjadi persegi. Tak ada usaha untuk perubahan, jangan pernah
mengharapkan suatu perubahan. Itu yang ada dibenakku. Aku mencoba mengungkapkan
dan meluapkan unek-unek pahit yang tertanam didalam dadaku, aku ingin ibuku
mengerti apa yang selayaknya berjalan sewajarnya saat masa remajaku. Tapi apa
yang ku dapatkan, hukuman dilarang keluar rumah sepulangnya sekolah tanpa
terkecuali. Tak ada satupun yang terlintas dibenakku, hanya tercipta segumpal
kekesalan yang memuncak sampai keubun-ubunku. Tak terjalin komunikasi yang
tercipta dintara sela dinding rumahku, aku hanya bisa berkomukasi saat di
sekolah, dan itupun terbatas oleh waktu.
Keterpurukan,
itulah yang aku rasakan. Prustasi, bisa dibilang itu yang ku alami. Tingkatan
kesabaranku sudah melayang diluar kapasitas yang telah tersedia, akhirnya aku
merasa aku bukanlah diriku, dan aku mencoba mencari diriku dalam luasnya
kehidupan diluar rumah. Kepergianku dari rumah menjadi sebuah landasan
pemikiranku untuk mencari karakter diriku sesungguhnya. Aku memutuskan untuk
menetap di rumah karibku yang koordinatnya strategis dan orang tuaku hanya
mempunyai peluang kecil untuk menemukanku.
Saat aku tak
lagi diruang terbatasku, aku merasa seperti burung yang baru dilepas ke alam
asri dimana seharusnya dia berada. Aku bisa menentukan kemauanku, tak seperti
dulu yang harus rela terkorbankan keinginanku demi memuaskan pikiran ibuku.
Aktifitas ku jalani tanpa tekanan dari sang dalang, beberapa saat aku merasa
senang. Seolah kedewasaan telah ku rasakan. Bak manisnya kenyataan telah ku
genggam.
Tapi, kini tak
ada lagi terjangan perhatian dari orang yang seharusnya selalu memberikanku
kasih sayang karena aku berada di lingkungan yang sebenarnya bukan tempatku.
Pada posisi ini aku mengetahui sifat manusia yang selalu tidak merasa puas
dengan kenyataan yang mereka diami.
Hari-hari
kujalani dengan kebebesan berekspresi seperti apa yang kuinginkan. Kecemburuan
sosial bukan lagi datang karena ingin bergerak dijalan sendiri melainkan rasa
haus perhatian dan kasih sayang orang tua. Hingga tak datang beberapa lama, aku
dapatkan sebuah berita kalau ibuku telah tiada. Tak terbendung kesedihan yang
menimpaku saat itu, sarafku berhenti bekerja karena hanya letih dan tak ada energi
yang tersisa ditubuhku. Aku menjerit dalam dada mengenang semua yang telah
menjadi sejarah.
Aku pulang ke
tempat dimana seharusnya aku hidup berbahagia, namun ku lihat ibuku telah kaku
tak bisa lagi melakukan hal seperti layaknya makhluk hidup lain bisa lakukan. Hanya penyesalan yang amat sangat yang
terlintas diotakku. Muncul penyadaran bahwa ibuku hanya inginkan aku bergerak
lurus dilintasan yang seharusnya, dia tidak ingin aku terperosok keluar jalur.
Karenanya, dia melakukan semua itu kepadaku. Mungkin sama sekali tak terlintas
dibenaknya untuk menjadikanku sebuah wayang yang karakternya dia jalankan, itu
hanya segelintir pikiran burukku. Aku belum mengetahui kenyataan indah yang
terselimuti ke sok tahuan diriku tentang dunia yang sama sekali belum ku
pahami. Kini ku telah mengerti, aku adalah aku yang sangat disayang ibuku,
bukan sebuah karakter tokoh wayang yang dijalankan perannya oleh si dalang.
Sekian.